Sedikit cerita gue di masa
pengukiran sejarah kelulusan S1 (walaupun gue belum tahu gimana endingnya).
Tugas akhir sudah menjadi hal sakral yang pasti akan dihadapi setiap mahasiswa
dengan tingkat studi apapun yang mereka ambil. Karena notabene tugas akhir
adalah syarat kelulusan itu sendiri. Entah apa bentuknya, skripsi, magang, kkn,
pkl, kerja praktik, dan sebagainya itu pasti bakal dihadapi. Sejalan dengan
jenisnya yang cukup banyak, cara menghadapinya juga macem-macem tergantung amal
ibadah. Oh ngga ya?? Hehee. Tentunya tergantung kebijakan universitas dan juga
kemauan serta kegigihan masing-masing mahasiswa. Ada yang nikmatin dengan
semboyan alon-alon asal kelakon akhirnya
ga kelar-kelar. Ada yang pengen cepet-cepet kelar, tiap hari ngapelin dosen
nungguin revisian padahal typo masih se-abreg dan selalu dapet banyak coretan,
tapi akhirnya kelar tepat waktu dengan dosen muntah-muntah tiap liat muka lo.
Ada juga bahkan “banyak” yang ngambil “jalan pintas”. Skip.
Gue mau share di sini sebagian
jalan gue menuju ke gerbang kelulusan. Dalam arti saat ini gue sedang menjalani
proses penyusunan tugas akhir a.k.a TA. Udah setengah jalan gue laluin dan gue
masih belum ngerasa yang bener-bener stres. Orang bahagia susah kurusnya.
Terbukti badan gue makin hari makin melebar. Skip.
Sebenernya stres, galau, males,
takut dan temen-temennya itu pasti gue alami. Ga bisa dipungkiri hal-hal
semacam itu pasti menghantui di saat-saat seperti ini. Ditambah lagi
pertanyaan-pertanyaan mengintimidasi yang seringkali muncul dari mulut tak
berperi-keapalahapalahan. Semacam, “Udah dapet tempat magang?” “Magang dimana?”
“Udah mulai nulis?” “Nyampe bab berapa?” “Udah nyebar kuesioner?” “Nyebar
dimana?” “Udah dapet jawaban?” “Bab xx nya sudah di acc pembimbing?” apalah
apalah pokoknya. Cape ngejawabnya. Sebetulnya mereka yang seperti itu memiliki
tingkat gradien yang lebih tinggi
dari kita. Tapi seringkali kita menghadapinya dengan otak yang lebih miring,
sehingga menimbulkan stres yang tidak berkualitas. Apalah.
Intinya tugas akhir bukanlah
sebuah momok yang membuat seseorang terserang stres akut saat membahasnya.
Jalani saja guys. Toh dosen itu ga bakal makan orang (kecuali dosen lo
kanibal). Orang tua ga akan nyoret lo dari daftar ahli waris (kecuali lo
durhaka). Orang lain ga akan berheti ngoceh dengan lo merasa stres. Semua
kembali lagi ke diri lo. Sampai taraf
mana itu (respon positif/negatif dari orang lain) mengganggu lo, itu adalah
pilihan lo. Dan gue memilih untuk tidak terganggu (Raditya Dika, Mata
Najwa).
Dari pada mikirin hal-hal yang
tidak produktif, mendingan isi otak lo dengan hal-hal yang fresh sehingga lo bisa lebih bersemangat. Di sini gue menyarankan
lo untuk punya yang namanya moodbooster
(ini salah satu cara yang gue lakuin). Moodbooster
itu bisa berasal dari apapun, carilah sesuatu yang membuatmu antusias untuk
mengetahuinya, melakukannya, mengikutinya, atau sejenak melupakan kepenatan
yang lo alami karena tugas akhir. Lebih bagus lagi kalau lo bisa nemuin muse di saat seperti ini, itu pasti akan
sangat membantu. Muse merupakan sosok
yang di mata lo sempurna tanpa cacat. Yang membuat lo semangat tiap kali lo
mengingatnya, melihatnya, atau mendengar suaranya dan semacamnya. Ketika muse lo temukan, maka hal-hal semacam
stres, galau, males, takut dan temen-temennya itu hanyalah mitos belaka.
Sampai ketemu di cerita yang lain...
0 komentar:
Posting Komentar